Selasa, 09 November 2004

Trotoar Kota

Dulu, disebuah fakultas Arsitektur ada seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi dosen pengajar. Sejak mahasiswa tingkat tiga dia sudah memantapkan cita-citanya itu. Ia tak sangat pintar, tetapi ia sangat idealis dan sangat tulus hati.

Setelah lulus melamarlah ia jadi dosen dan jadilah ia seorang dosen di fakultasnya itu. Ketika teman-teman seangkatannya sibuk mengejar pengalaman kerja, ia sibuk mengajar sambil menimang-nimang idealismenya.

Ketika saya kebetulan bertemu dengannya saya tanyai dia, idealisme macam apa yang ia punya sehingga akhirnya menjadi dosen. Jawabnya, lihatlah trotoar!.
Trotoar?, tanyaku. Ya, trotoar, katanya lagi.
“Bila trotoar-trotoar kota tempat pejalan tak berkendaraan ini belum lebih lebar daripada jalan kendaraan, tandanya kota ini masih bagaikan sebuah mesin belaka yang menderam berknalpot muntahkan karbon monoksida. Belum menjadi kota tempatnya manusia, yang berhati dan berkata-kata. Maka masih perlu arsitek yang lebih mementingkan kemanusiaan daripada mesin uang”.

Saya tersedak. Hebat sekali kata katanya itu.
Rupanya itu yang dia cita-citakan, menciptakan arsitek-arsitek sebagai anak negeri yang berintegritas tinggi terhadap bidangnya.

Lalu saya tanya lagi:, Ok, taruhlah sudah dibuat trotoar yang selebar – bahkan lebih lebar dari jalan. Lalu apa?”

Ia berkata lagi: “Lihatlah lagi trotoar!.
“Bila lebar bagian trotoar yang dipakai oleh pedagang kaki lima lebih lebar dari bagian yang dipakai oleh pejalan yang berlalu-lalang, itu tandanya masih perlu arsitek yang mementingkan kemanusiaan daripada mementingkan kerapihan semu yang diperoleh dengan penggusuran sewaktu-waktu.
Kemerdekaan itu, adalah hak segala bangsa maka dari itu, penjajahan atas para kakilima harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Penjajahan itu sering terjadi di trotoar”.

“Baik, katakanlah itupun sudah bisa dicapai. Ada bagian penjaja rapih berderet disisi dan ada begian longgar untuk pejalan yang berlenggang di trotoar. Tak ada lagi petugas berseragam mengejar orang lapar yang terpaksa berdagang. Lalu apa?. Itukah tujuanmu menjadi dosen untuk para calon arsitek?”, tanya saya lagi.
Ia berhenti sejenak. Mengangguk-angguk. “Bila begitu berarti sudah ada indikasi baik dari perkembangan idealisme arsitek di negeri ini”.

“Jadi idealisme arsitek suatu negeri bisa dilihat dari trotoar kotanya?”, tanya saya.
“Ya, trotoar adalah tempat yang paling menguji idealisme. Bagian sekitar trotoar adalah bagian arsitektur kota yang berkonotasi pertentangan kepentingan antara yang sosial dan yang bersifat niaga.
Disitu ada etalase ada iklan ada billboard ada pedagang ada pengamen ada pengemis ada tukang copet ada orang antri ada wartawan ada pemabok ada pelacur dan . ada polisi.
Bahkan dimasa pemilihan presiden lima tahun sekali bisa ada terjadi calon presiden merangkul-rangkul orang orang gembel disitu.
Penampilan sebuah kota mencerminkan isinya. Dari bagaimana trotoar sebuah kota tampil, kita bisa menduga sebagian besar dari keseluruhan kotanya”, katanya.

Saya berpikir, mungkin ia agak berlebihan. Maka saya tanya lagi, “Apakah trotoar yang bersolek cantik di sepanjang jalan Thamrin-Sudirman dengan lampu warna warni dan bis meluncur tenang di busway dari halte demi halte itu telah mewakili jalan jalan dan pelosok kampung kampung di Jakarta seperti teori yang anda katakan?.
Ia menukas dengan tangkas: ” Ya, justru kalau di pelosok jalan-kecil itu tak ada trotoar yang sedang bersolek seperti di Thamrin – Sudirman, itu makin menunjukkan APA permasalahan sebenarnya di negeri ini”.

“Masalah keterwakilan? “, tanya saya (tapi seperti tidak bertanya juga).
“Ya”, jawabnya.

Saya menyalaminya sambil berkata basa-basi, semoga ia ditawari menjadi menteri dalam kabinet presiden yang terpilih mendatang.
Ia tak sangat pintar memang. Tapi bukan yang terlalu pintar yang dibutuhkan untuk memimpin rezim nanti, melainkan yang sangat IDEALIS dan sangat TULUS HATI.
Makin langka orang seperti itu sekarang. Bahkan saya sendiripun sering terjerumus menyamakannya dengan orang bodoh.

Ia seperti tahu apa isi hati saya. Ia menyalami saya kembali: “Hanya orang PINTAR yang bisa menjadi menteri di negeri ini”.

Sekali lagi saya tersedak.

Ferry Wardiman