Selasa, 08 Desember 2009

Asal Mula, Akhir Agama dan "Agama Baru"


Ketika manusia masih primitif, agama belum ada, manusia hanya membedakan antara yang lebih kuat dan yang kalah kuat.
Ketika itu, yang menjadi kegiatan utama adalah mencari makan, mempertahankan diri dan tetap hidup.

Ketika perbedaan kekuatan makin jelas terlihat dan terbuktikan lewat pertarungan dsb, maka muncullah penguasa, pemimpin, kepala suku.
Yang lebih lemah lebih sulit mengukur kekuatan yang lebih kuat. Maka terjadi pemujaan yang berlebihan kepada pemimpin dan penguasa. Tradisi memuja itu erat hubungannya dengan kepentingan utama itu yaitu agar dapat makan lebih, agar lebih terjamin keamanannya, dan tetap yang terpenting adalah agar tetap hidup.

Pemimpin bisa mati oleh lawannya, saingannya, usia tua, kecelakaan dsb. Tetapi kegentaran hati terhadap kekuatan Sang pemimpin tak mudah hilang begitu saja. Pemujaan tetap terjadi sekalipun sang pemimpin sudah mati.
Dan pola itu terjadi mulai dari peradaban paling awal.

Selain pemimpin yang manusia juga, yang bisa menjadi "yang sudah mati - tetapi tetap menggetarkan hati", manusia juga mengenal figur lain yang dibayangkan juga berkuasa. Ia melihat matahari, dibayangkan matahari itu juga semacam kekuatan. Melihat bulan, juga, Melihat angin, singa, burung besar, pohonpun demikian.
Maka kekuatan fisik tadi mulai diabstraksi dan dibumbui fantasi. Bila manusia mati bisa tetap berkekuatan maka tentunya yang lain juga bisa berkekuatan. Muncullah Dinamisme - Animisme. Konsep arwah, jiwa, roh, spirit muncul dari situ asalnya.

Masa ini ditandai dengan banyaknya "Kepala suku", pengorbanan manusia dan hewan, totem2 purba. Setiap kelompok mempunyai "kepala" dan terjadi pola pemujaan dari pemujaan paling fisikal sampai paling abstrak yaitu pemujaan kepada angin, matahari dsb. Ini diperkirakan terjadi ribuan tahun sebelum Masehi. Mungkin 4000-2000 SM. Kala itu kekuatan dipuja. Hukum Rimba membuat yang kuat bertahta. Peradaban dimulai dari tingkat yang paling biadab dan paling dekat dengan hokum dunia satwa.

Kelompok-kelompok makin kuat dan besar ketika mengalahkan dan menjajah kelompok lain. Maka terjadilah kekejaman manusia atas manusia lain yang luar biasa. Pemujaan kekuatan mengakibatkan secara langsung penindasan, kesengsaraan, ketakutan bagi kelompok yang kalah. Maka manusia mulai mengangankan tokoh Penyelamat untuk menolongnya lepas dari keadaan yang sangat biadab itu. Angan angan itu berlangsung ribuan tahun.

Sekalipun peradaban makin maju, tetapi prinsip yang berkuasa menekan yang kalah tetap kuat mewarnai peradaban sebelum Masehi ini. Maka "katup pengaman" manusia untuk "lari" kepada mimpi, fantasi, cita-cita dan angan-angan, dipakai untuk bertahan dari keadaan yang menakutkan itu. Seperti harapan akan dapat air minum pada oasis terdekat membuat musafir yang kehausan lebih bisa bertahan daripada musafir yang putus asa karena tahu tidak ada harapan. Itu mekanisme psikologis manusia untuk bertahan.

Lalu terjadi nubuatan dan ramalan yang sebenarnya adalah proyeksi angan-angan itu. Di Timur Tengah, berkembang nubuat tentang Messias.
Messias dibayangkan sebagai bersifat penuh welas asih, tidak kejam dan tidak menjajah seperti penguasa-penguasa yang ada. Dan menjadi kebalikan pula dari Dewa2 ciptaan manusia kejam yang tentu saja melahirkan Perintah Dewa berupa kekejaman pula.

Messias ini adalah produk dari harapan dan diharapkan menjadi jawaban persoalan.

Di beberapa tempat di planet ini, India, Cina, Timur Tengah, Australia, Amerika, dll, terjadi variasi-variasi, namun prinsipnya sama, Pemujaan kepada kekuatan melahirkan ketakutan.
Tapi dari itu semua, terjadi suatu "kebetulan" dimana ada seorang yang lahir di awal tahun Masehi yang kelak jalan hidupnya berpengaruh banyak terhadap kehidupan manusia lain sesudahnya.
Dalam ilmu klenik kuno pelbagai bangsa, orang orang besar ditandai kelahirannya dengan sesuatu yang besar pula. Orang yang lahir "kebetulan" itu, kita kenal sekarang sebagai JESUS yang dipuja paling banyak orang diseluruh planet ini, dalam banyak cara. Sesuatu yang besar tsb adalah "Bintang Betlehem" itu. Tentu saja tidak ada bintang yang bernama Betlehem, karena Betlehem adalah nama tempat di planet ini. Bintang itu adalah benda angkasa yang “kebetulan” terlihat nyata.

Banyak tanda aneh lain yang mengiringi tokoh dunia yang satu ini, misalnya kepandaiannya berdebat sejak usia muda, kekuatan mental yang dipunyai, kecerdasan dan kharismanya terhadap orang lain dsb.

Ia masuk tepat pada ujung masa pengharapan itu dan menjawabnya dengan kerelaannya untuk mati dalam keadaan tersiksa hebat.

Dan konsepnya tentang melawan kekerasan dengan kewelas-asihan menjadi “laku” keras dan bergema nyata di hati orang-orang tertindas. Masa itu dikenal sebagai masa “domba” atau Aries, dimana ia sendiri menjadi kurban persembahan sesuai tradisi milennium sebelumnya yang haus darah. Ini terjadi di tahun 2000 SM sampai 0. Pengharapan akan perubahan dari idealism yang bertumpu pada kekuatan mengalami masa pembalikan menjadi idealism yang memuja kewelas-asihan yang oleh orang Kristen sekarang disebut KASIH. Ini membedakan dengan tegas antara idealisme SEBELUM dan idealism SESUDAH Masehi.

Yang tergerak oleh “pandangan” baru itu makin hari makin banyak, meskipun resistensi terjadi dari orang yang masih dipengaruhi oleh peradaban lama. Benturan peradaban terjadi berupa pertentangan antara paradigma KEKERASAN dengan paradagma KELEMBUTAN. Korban berupa martir berjatuhan dimana mana di seluruh bagian Bumi.
Tapi lambat laun meskipun ditingkahi pertentangan dan peperangan yang tak henti-hentinya, ajaran Kasih itu makin kuat melembaga. Lembaga ini disebut lembaga Gereja.

Gereja Purba mengalami banyak ujian. Termasuk ujian terhadap PERPECAHAN dalam Gereja itu sendiri. Gereja yang tadinya sederhana, mengajarkan prinsip Kasih kepada sesama, tak lagi sederhana karena dicemari oleh banyak egoisme yang diidap para penguasa. Bukan hanya penguasa negara, juga penguasa-penguasa Gereja itu sendiri.
Maka tak urung, dengan menyedihkan, pecahlah Gereja berkeping keping sampai saat ini.
Masing-masing kepingan bagaikan ikan ikan kecil yang terperangkap dalam akuarium masing masing. Semua merasa nyaman dalam “rumah” kecil-kecilnya dan menjadi “raja” untuk istana masing masing.
Ikan ikan itu lebih memuja akuariumnya masing masing daripada memahami inti atau esensi dari akuarium itu sendiri, yaitu AIR.
Singkatnya, ikan ikan itu tidak menyadari air meskipun hidup dalam air.

Ini jaman berkisar dari awal Masehi sampai tahun 2000, atau kira-kira tahun dimana kita sekarang berada. Masa ini disebut milenium Ikan atau Pisces.
Jaman ini ditandai dengan orang2 yang hanya mengerjakan perintah pemimpinnya, kitab sucinya dan interpretasinya saja, tanpa memahami esensi yang lebih dalam daripada apa yang dikerjakannya.
Manusia belum berkuasa melihat realitas yang melingkupi dirinya, seperti ikan yang tidak bisa melihat air.

Di jaman Pisces ini orang berdebat tentang:
Apakah Tuhan menentukan jalan hidup manusia ataukah manusia punya kebebasan?.
Apakah Tuhan menghukum dengan adil dan setimpal ataukah memaafkan dengan rahim?.
Apakah Tuhan perlu disembah ataukah terlalu berkuasa sehingga tidak perlu disembah?.
Apakah Tuhan perlu diberi persembahan2 ataukah tidak?. dsb dsb.

Ini mirip dengan ikan2 di akuarium yang berdebat tentang air yang tak dilihatnya, dan mempersoalkan:
Apakah air menentukan dimana ikan berenang, ataukah ikan punya kebebasan berenang dimanapun?

Manusia masih bertengkar pada jaman ini. Dari pertengkaran paling ringan dan “lucu” seperti di forum-forum internet, sampai pertengkaran ngeri membakar rumah ibadah dan membunuh dengan bom dan aturan kejam tentang hukuman mati.

Lalu ada sebagian kecil orang yang berpikir lebih mengerucut menggapai esensi dari hidup ini.
Ketika melihat sesamanya tidak menyadari bahwa “penguasa” itu ternyata berbeda beda dan ditentukan semau-maunya seturut interpretasi masing masing, mereka melakukan refleksi dan menyaring yang tidak esensiel untuk mendapatkan esensinya saja.
Ternyata ada “benang merah” yang menjadi ciri setiap “pemujaan”. Ciri itu adalah demi diri sendiri, alias demi masing masing AKU. Maka keakuan itu direnungkan lebih dalam dan sampai pada kesimpulan:

Aku adalah Aku bersama lingkunganku.

Lingkunganku itu adalah sesama, alam, teknologi, dsb.

Kesadaran itu sampai pada kesimpulan bahwa kalau masing2 Aku itu memberi batasan yang terlalu sempit untuk Aku, yaitu Aku tanpa sesamaKu, tanpa lingkunganKu dsb, maka akan terjadi penurunan kualitas hidup keseluruhan manusia secara sistematis. Dan pada gilirannya memusnahkan setiap “Aku” yang ada yang merupakan keruntuhan kemanusiaan yang menuju pada pemusnahan manusia.

Karena itu, redefinisi konsep aku menjadi Aku dengan “huruf besar” tidak bisa ditawar lagi, tidak bisa diingkari lagi. Dan menjadi sesuatu yang niscaya.

Ikan yang terperangkap di “akuarium” milenium lalu, “meloncat” dan menjelma menjadi Manusia pada milenium kedepan.
Dari ikan yang hanya mengalami air secara tidak sadar, menjadi manusia si Tukang Air (Aquarius) yang sadar akan keadaannya.
Ikan yang tadinya tidak bisa hidup tanpa air, menjadi manusia yang justru hidupnya memakai air. Ia mengamati air sebagai realitas keseluruhan kehidupannya, tapi kini dengan cara menyadarinya.

Doa berangsur-angsur tidak dilakukan lagi kecuali sebagai semacam refleksi. Meditasi menggantikannya.

Tuhan yang buatan manusia, mati dan manusia sendiri yang membunuhnya di penghujung milenium Pisces. Kesadaran akan Aku menggantikannya. Manusia melihat samudra realitas seluas-luas panca indra dan kemampuan pikir mengijinkannya, bukan cuma terbatas pada akuarium semata yang mana itupun tidak disadari airnya ketika ia masih sebagai ikan belum menyadarinya.

Tugas manusia sebagai pribadi yang “tahu” berlipat bertambah dibandingkan ketika masih terkungkung dalam kurungan akuarium. Sekarang manusia bukan lagi menyembah “tuhan” buatan yang berada diluar dirinya yang cuma menggantikan dewa2 berhala warisan masa Taurus, melainkan tidak menyembah-nyembah apapun lagi karena “tuhan” itu sudah berada didalam dirinya. Dengan penuh kesadaran ia menyadari itu dan menjadi bebas, tetapi tidak sebebas anarkis yang menyebakan chaos, karena sekarang ia dibebani tanggung jawab moral yang lebih berat sebagai pribadi yang “tahu” tersebut.

Dalam mitologi Kristen, ini adalah “Buah Pengetahuan”. Ketika ia tahu, ia kini sadar bahwa ia bukan anak kecil lagi yang dibisiki inangnya bahwa ia dijagai dibelakang. Ia kini berjalan sendirian dalam kesepian, tetapi apapun kesepian itu, itu adalah realitas. Kenyataan bahwa manusia memang sendirian. “Tuhan” yang nyata itu sudah bersamanya didalam keberadaannya, menggantikan “tuhan buatan” warisan jaman purbanya.

Kesadaran bahwa Aku adalah Aku bersama lingkunganku membuat setiap insan berbuat baik kepada sesamanya. Ajaran Kasih memasuki puncaknya di masa ini. Kasih sudah bukan lagi ajaran, tetapi sesuatu yang “tidak bisa tidak” selalu bersama setiap manusia (inheren).

JESUS bagaimana?. Ia adalah “Anak Domba” yang jadi korban atau mengorbankan diri supaya manusia mencapai milenium ini dengan kesadaran akan Kasih tsb.

Tokoh2 lain bagaimana? Yang menghalangi tercapainya keadaan manusia berkesadaran tsb, disebut Antikris. Yang berteriak teriak Tuhan Tuhan Tuhan diperempatan jalan bukannya menolong sesama seperti dalam perumpamaan orang Samaria, disebut Nabi-Nabi Palsu.
Tapi yang membantu manusia sampai dalam kesadaran tentang Aku yang meluas ini, adalah bagian dari “Tentara Surgawi” untuk ikut serta membangun “Kerajaan Allah” tsb.

Kerajaan Allah sudah dekat? Ya, cukup dekat karena milenium ini baru saja dimulai. Kita semua mengawalinya.

Kapan berakhirnya milenium ini? Sekitar 2000 tahun lagi.
Masa itu nanti manusia memasuki paradigma yang berbeda lagi. Dari memahami makna kehidupan sebagai si Tukang Air (Aquarius), menjadi manusia yang mengalami makna kematian.
Manusia sudah bukan mendambakan kelangsungan hidup yang fana ini, melainkan sudah memahami bahwa kematian adalah kehidupan juga yang harus dimasuki secara sadar dan terkendali pula.

Jaman setelah 2000 tahun lagi itu adalah jaman Kambing Gunung atau Capricornus.
Pertapa-pertapa makin banyak dan akan ditemui dalam jumlah yang sangat banyak, sebanyak orang “beragama” pada masa kini. Mereka memahami kehidupan dengan mengalami kematian.

Setelah jaman itu 4000 tahun lagi, manusia sudah bukan lagi seperti yang kita lihat sekarang. Manusia sudah tidak dibatasi lagi oleh planet ini, tidak dibatasi oleh yang dikenal sebagai “tubuh fisik”. Tiadanya perbedaan antara “fisik” dan “jiwa” bukan cuma disadari seperti pada masa Tukang Air, tapi bahkan dialami.
Bagaikan air di tempayan2 yang tumpah ke laut maka batas batas individual sudah tiada lagi. Kehidupan dan Kematian tak terpisahkan dan tak terbedakan. Yang tertinggal hanyalah kekekalan yang tak berkesudahan.

Ferry Wardiman