Minggu, 31 Januari 2010

Agama, Tuhan dan Manusia


Pada awalnya, agama adalah cermin, piranti manusia memandang wajah dirinya. Bayangan yang nampak didalamnya dipanggilnya “tuhan”.

Kemudian terjadi proses “kebablasan”.

Cermin yang menampilkan wajah indah itu dihias-hiasnya, makin lama makin berlebihan sampai tak lagi jelas menampilkan bayangannya.
Panggilan-panggilan masih merdu dikumandangkan. Tapi arahnya sudah beralih kepada si cermin, bukan kepada bayangan dirinya yang sudah pudar tak nampak lagi. Alih-alih manusia berias mempercantik kemanusiaannya, yang ada adalah wajah beringas tanpa disadarinya. Tiba tiba wajah itu menerkam kemanusiaannya sendiri dan masing-masing mengatakan memang inilah wajah “tuhannya”.

Itulah bahaya sistemik sebuah cermin. Dan itulah kengerian dari orang yang tidak mampu menyadari dirinya tanpa memakai cermin-cermin, karena ketika cermin itu tak mampu menampilkan wajah kemanusiaannya ia berganti rupa menjadi malapetaka.

Yang mampu menyadari dirinya, ia tidak membutuhkan cermin untuk melihat dirinya. Yang tidak mampu menyadari dirinya tanpa cermin, seyogyanya ia menjaga agar cerminnya tetap jernih untuk ia bisa memandang kemanusiaannya.

Yang membutuhkan agama untuk melihat “tuhan”, seyogyanya selalu menjaga wajah tuhannya itu apakah selalu masih sama dengan wajah kemanusiaannya. Ketika ternyata berubah, berarti ada sesuatu yang salah.

Ketika kemanusiaan kita cedera dan kita diam saja, kita harus bisa menganalisa, dimana salahnya, apakah kita menganggap cermin sebagai “tuhan” tanpa kita melihat bayangan kemanusiaan kita, ataukah kita mengira tuhan itu sudah selayaknya sebagai monster yang seharusnya memang beringas dan dianggap selayaknya mengganggu kemanusiaan kita.
Ferry Wardiman

Sabtu, 30 Januari 2010

Pola

Kita, bukan hanya bagian dari yang lebih besar, tapi juga bagian yang lebih besar secara terpola dengan pola yang sama dengan bagian dari kita memandang kita sebagai yang lebih besar.

Ini pencerahan yang saya dapat melalui sebuah mimpi, pagi ini.

Ferry Wardiman

Sabtu, 16 Januari 2010

Peradaban yang Belum Cemar

Membandingkan perilaku masyarakat antar lapisan sosial sangatlah menarik. Kalau ingin menengok lapisan atas, kita tinggal klik TV dan lihat sinetron. Gambaran maya borjuasi menjadi nyata tertayang di setiap saluran. Kepalsuan dimana-mana.

Menengok realita tidak terlalu berbeda. Terlihat pada infotainment. Terlihat pada tingkah laku masyarakat dari selebritis, dari pebisnis sampai pejabat. Terlihat juga pada pada peradaban para politisi.
Semua tampil penuh topeng2 muka. Kadang begitu tebal sampai tidak terbayang sedang tertawa atau sedang murka.

Tapi di lapisan bawah, berbeda. Ada dunia yang tidak kita lihat pada lapisan yang lebih atas. Ini ceritanya:

Seorang wanita dari Jakarta datang ke Yogyakarta. Bersama temannya yang dari Yogyakarta ia menawar becak untuk mengajaknya berjalan-jalan putar-putar Maliboro. Sekalian kalau ada yang menarik hati, bisa turun dan mampir, lihat-lihat, lantas naik lagi.

"Berapa bang?",
kata wanita itu (Sst, disini "mas", bukan "bang", kata temannya).
"Kersane mawon" ("terserah mau berapa saja"), jawab si Tukang Becak.
"Sepuluh ribu ya", jawab si Wanita.
"Nggih mpun", ("Ya sudah") Tukang Becak itu menerima tawarannya.

Tapi tukang becak itu tiba-tiba memanggil temannya untuk menggantikannya.

"Lho kenapa?" Tanya si Wanita.
"Saya ini baru saja narik. Kasihan teman saya itu dari tadi belum narik. Tidak apa apa kok. Biar aja dia yang narik!"

Wanita itu heran dan merasa aneh. Ia tersentuh. Di kota besar jarang ada yang begini, pikirnya.
Lantas bersama temannya ia naik becak menikmati angin semilir yang dikayuh oleh Tukang Becak kedua itu. Mereka mengunjungi toko perhiasan perak. Melihat-lihat batik. Membeli pernik-pernik.Ketika pulang, tidak jadi memberi sepuluh ribu - malah iba - ia menyerahkan limapuluh ribuan tidak tega meminta kembalian.

Setelah turun, berjalan jalan lagi dan mendekati penginapannya, ia melihat Tukang Becak pertama yang ia temui sebelumnya. Si Tukang Becak itu berjalan mendekatinya dan berterimakasih kepadanya karena memberi uang berlebih kepada temannya. Ia mengaku tadi "kebagian" duapuluh lima ribu.

Wanita itu tak habis pikir. Dengan logika pengusahanya, ada yang tidak logis terjadi. Mereka orang-orang bodoh, atau orang-orang baik, ya...
Tukang Becak pertama mestinya tidak perlu memberikan rejeki pada temannya. Itu saja sudah membuatnya "bingung".
Selain itu, Tukang Becak kedua yang dapat rejeki lebih, mestinya juga tidak perlu membagi dua kepada temannya. Kalau temannya mengira ia dapat sepuluh ribu tentunya memberi lima ribupun sudah cukup "bagus".

Sampai keesokan harinya, bahkan sampai seminggu kemudianpun "kejanggalan" itu tak hilang dari benaknya. Lalu ia menceritakan kepada suaminya untuk menuliskannya cerita ini dan membagikan "kejanggalan" ini kepada sebanyak mungkin orang.

Suaminya berkata, ini bukan kejanggalan apalagi kebodohan, melainkan peradaban yang belum cemar.
Ia tidak merasa janggal - hanya tetap sama saja - merasa ingin menangis.


Ferry Wardiman