Sabtu, 13 Februari 2010

Mayapada Suwung

1.
Ada sekelompok orang kaya, sangat kaya. Katakanlah tiga atau empat orang.
Mereka merasa terganggu hidupnya karena Kepala Pengadilan yang bernama Anu mengincar hidup mereka.
Bisnis sudah sulit, mengapa mesti dipersulit lagi dengan ketakutan yang diciptakan manusia? Begitu logika mereka.

Maka salah satu dari mereka melobi kanan-kiri, berkasak-kusuk diantara sesama orang kaya yang lain.
Ternyata semua sama, benci koca-kaci kepada Pak Anu, si Tiga Hurup itu.
Tak kurang dari kerabat-kerabat raja mereka ajak menghimpun kebencian. Dan hasilnya adalah sebukit dendam yang mengkristal menjadi rencana dalam diam.

Kasak kusuk melebar di tingkat atas sampai merambah kepada petinggi petinggi Punggawa Raja, Hulubalang dan para Pamong Praja.
Semua ternyata sama, menyimpan bara dalam sekam.
Hidup ini kan sebetulnya bisa senang toh, mengapa ada orang yang diberi kewenangan untuk membuatnya menjadi susah sih?

Sambil mengawasi rekan-rekan mereka sesama Pengusaha, Pamong dan Ponggawa satu persatu masuk penjara, mereka bertanya dalam hati masing-masing kapan giliran kita? Ah, ini tidak bisa dibiarkan. Mesti ada yang bergegas mengakhiri, tapi dengan cara paling aman dan terjaga kerahasiaannya.

Satu-dua diantaranya bertanya kepada Jagad Batara Dewa, melalui cantrik cantriknya. Rata-rata sepakat. Ketakutan ini musti diakhiri.
Dibantu puasa-puasa dan tirakat-tirakat, diawali bisik bisik sampai doa doa mereka berencana membunuh Pak Anu.

Tapi pembunuhan terlalu kasar dan bodoh. Kalau ketahuan bisa langsung bubar semua urusan dan malah masuk penjara semua. Jadi bukan pembunuhan secara langsung yang paling baik melainkan dengan cara menyerang paling halus tapi paling efektif dalam sejarah manusia, yaitu dengan fitnah.

Salah satu dari kelompok yang kebetulan dekat dengan Kepala Pamong menggelar pertemuan empat mata di suatu sore di awal bulan Suci. Entah apa yang dibicarakan, tapi yang pasti mereka keluar dengan pandangan mantap dan penuh harapan menatap kedepan: Teror ini mesti dihentikan.

Hujan deras turun setelah itu, sampai beberapa pohon tumbang di jalan dan ada gempa di beberapa kota. Mungkin itu pertanda para Dewa marah?. Yang pasti mereka mengartikannya justru sebagai restu. Dan makin yakinlah mereka.

Jagad Nusantara berselubung awan gelap. Suwung. Sedih.
Para Raksasa jahat bertiwikrama menjadi bencana-bencana. Dan malam di kedewataan bagaikan kekal. Sang Hyang Pagi seakan tak pernah muncul lagi.

2.
Al Kisah, beberapa bulan kemudian, disebuah rumah, seorang laki-laki mencumbui pacarnya yang bernama Rina.
Sudah lama si pacar yang imut ini minta dibelikan mobil baru. Si lelaki itu bernama Nusa. Seorang yang temperamental, tapi cerdas dan berani. Ia mengandalkan matapencahariannya dari bisnis yang tidak jelas untuk urusan-urusan pengadilan. Katanya kepada si pacar: "Rin, kau akan aku kenalkan kepada seseorang yang hebat, kalau dia berhasil kau rayu, jangankan mobil, rumah besar berikut mobilnyapun aku sediakan".
"Apa yang harus kulakukan, bang?, tanya si Rina imut.
"Kau rayulah sebisanya. Aku akan ambil fotonya diam-diam ketika ia mencium bibirmu. Namanya Pak Anu. Dia berkuasa bak dewa di Pengadilan".

Si Rina perlu waktu beberapa bulan untuk mendekati Pak Anu. Tidak mudah membuat Pak Anu langsung tertarik kepadanya. Tak ada kesempatan untuk mendapatkan foto yang meyakinkan.
Sampai suatu saat ketika ia hampir putus asa, terlintas ide untuk tidak memakai cara rayuan biasa. Ia berpura pura minta tolong untuk memasukkan adiknya bekerja di kantor Pak Anu.
Pak Anu memang sulit tergoda wanita, tetapi ia mudah terketuk hatinya kalau ada yang memohon pertolongan kepadanya. Maka disepakatilah untuk bertemu disebuah penginapan.

Nusa yang cerdik segera memanfaatkan keadaan. Tak mungkin memotret kejadian dalam kamar, maka ia memanfaatkan kemampuan telpon genggam untuk merekam pembicaraan.
Rina mengeluarkan rayuannya ketika berdua dengan Pak Anu. Tapi Pak Anu tidak terpengaruh. Karena rekaman berjalan terus, maka Rina memutuskan berinisiatif mengeluarkan kata-kata merangsang, supaya dapat menangkap respon dari Pak Anu. Ternyata tidak berhasil juga.

Nusa yang merekam di luar ruangan habis sabar. Ia belum mendapatkan bukti yang diinginkannya maka ia berniat mengambil jalan pintas berupa insiden saja. Ia merangsek masuk kamar dan menemui pacarnya sedang berduaan dengan Pak Anu. Ia menuduh adanya perselingkuhan. Pak Anu agak panik karena khawatir reputasinya sebagai Kepala Pengadilan terganggu gara gara kedapatan berduaan dengan wanita dan tiba-tiba dipergoki oleh temannya yang tiba tiba mengaku sebagai suami dari perempuan itu.
Negosiasi dilakukan. Nusa mengancam Pak Anu untuk mengikuti kemauannya bila tidak aib itu akan dibongkarnya. Kesepakatan itu terpaksa diterima olek Pak Anu.

3.
Di sebuah kantor Pamong. Terjadi pembicaraan antara kepala Pamong dengan Nusa. Rupanya Nusa melaporkan sesuatu. Lalu setelah itu, beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah kesal.

4.
Di rumah Pak Anu, sejak malam itu, telepon berdering menteror istrinya yang mengatakan Pak Anu telah berselingkuh dengan simpanannya yang bernama Rina, seorang sinden. Sang istri setengah percaya setengah ragu. Rekaman diperdengarkan di telepon itu. Dan kecemburuan berjangkit. Pertengkaran terjadi di rumah Pak Anu. Rumah tangganya sudah tidak lagi berjalan seperti sebelumnya sejak itu.
Dalam kesempatan lain, Pak Anu sendiri diminta untuk mengikuti kemauan Nusa yang diperintahkan melalui telepon. Maka kemandirian Pak Anu tergadai sudah. Ia marah tapi tak berdaya. Terjepit antara pertengkaran rumah tangga dengan teror Nusa.

5.
Datanglah seorang utusan Pamong yang kebetulan kenalan lama. Pak Anu menerimanya ditengah kegalauan yang sedang menyelimutinya. Pak Anu curhat bahwa ia dan istrinya sedang diteror yang akan membahayakan kemandiriannya dalam menjalankan tugasnya. Sang utusan prihatin dan sebagai teman meyakinkannya untuk membantu mengatasi persoalan itu.

6.
Orang-orang keras ada di mana-mana. Ada yang tergabung dalam kelompok keagamaan, ada yang dalam lingkaran etnis, ada juga yang lebih politis organisatoris menjalankan fungsinya membantu partai politik tertentu.
Dari itu semua, yang paling sederhana pribadi dan pemikirannya adalah yang bersatu karena etnis. Etnis ini dari Timur.
Ada satu dihubungi oleh seorang Pamong. Diminta untuk tidak membocorkan sebuah tugas rahasia yang diemban oleh Pamong Praja. Sebuah tugas suci, tugas negara. Ia diminta untuk melakukannya dalam kelompok 3-4 orang. Tugasnya adalah menguntit sasaran dan berjaga jaga dengan sepucuk senjata tua. Mereka, daripada luntang-lantung menjadi preman pasar, menyetujui. Tugas menguntit adalah tugas ringan. Mereka hanya menunggu waktu yang ditentukan, mengamati sasaran dan melaporkan setelahnya. Sudah itu selesai, dapat upah. Tugas negara ini!. Lumayan membanggakanlah.

7.
Di suatu hari, sebuah mobil melesat. Dikuntit jarak jauh oleh preman bermotor.
Pada sebuah perhentian, tiba tiba datang dua orang bermotor lain memuntahkan peluru pistolnya dengan cekatan dan sangat jitu.
Penumpangnya di bangku belakang mobil bocor kepalanya dengan 3 lubang peluru, dinyatakan mati terbunuh. Namanya Nusa.
Lubang itu tidak cocok dengan pistol yang dibawa preman penguntit.

8.
Tersebar kabar itu dengan segera, Pak Anu ditangkap karena membunuh demi seorang wanita.
Seluruh negeri tercengang seakan tak percaya. Tapi nyata.
Ada kisah Rina yang imut yang dilansir dengan bersemangat oleh para kuli tinta.
Pak Anu makin terpuruk dimata rakyat, sekalipun sebagian masih tak yakin.
Yang pasti pak Anu akan masuk penjara lebih dulu.

9.
Di persidangan terjadi sandiwara besar yang diliput setiap setasiun TV dan semua media.
Preman-preman penguntit, sekalipun tidak menembak apa apa, dihukum 17-18 tahun penjara. Penembak tepat malah dirahasiakan, tidak diusut pelurunya maupun senjatanya. Kambing hitam sudah didapat. Kambing lain tak perlu lagi. Yang penting ada kambingnya untuk korban sajian dewata.

Pak Anu, diharapkan dihukum mati, tapi tekanan masyarakat yang tak percaya dan upaya pembuktian yang nyata-nyata tidak berhasil tuntas membuat pengadilan harus berkompromi. Saling tarik antara keputusan lucu dan wibawa sebuah otonomi terjadi dan akhirnya Pak Anu diganjar 18 tahun saja padahal justru ia yang jadi korban. Memang bukan hukuman mati, seolah-olah keadilan telah "lumayan" diupayakan. Tapi cukup banyak kesempatan untuk membunuhnya di penjara kalau ia tetap harus mati nanti. Musuhnya banyak. Bakal tak jelas siapa yang paling membencinya.

Para Pamong yang merencanakan, diganjar 12-15 tahun penjara. Terhitung terjebak sebagai korban konspirasi juga. Sekali lagi korban bagi dewa juga.

10.
Lalu urusan teredam hanya sampai tingkat dua dibawah puncak piramida tertinggi. Semua sudah masuk bui.
Bahkan Ambodo yang sedianya akan dijadikan "ban serep" kalau urusan tidak bisa teredam dibawah, sudah pula masuk bui dengan tak jelas perkaranya. Pokoknya masuk dulu untuk tidak mengacaukan urusan penyelamatan dewa-dewa.

Ia akan dikorbankan dengan tuduhan sebagai orang yang membantu kakaknya mendanai semua ini bila urusan makin runyam. Cocok dengan situasi, karena kakaknya tak berani pulang dari luar negeri untuk klarifikasi. Terlalu banyak resiko untuk pulang dan hanya untuk berperang tanpa kelihatan lawannya siapa.
Hasil akhir, ternyata urusan tidak serunyam itu. Cukup rapih. Rakyat tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya. Doa doa hartawan telah dikabulkan para dewa.

11.
Malamnya, kira kira jam setengah sembilan, setelah Pak Anu divonis masuk bui, di sebuah lounge yang mewah dan tenang di bilangan Kuningan, beberapa orang berkumpul. Dua pakai dasi, bawa tas dan map tipis. Tiga bergaya santai sekali, salah satunya pakai celana pendek. Beberapa yang lain berdiri dengan hormat, mengikuti gelagat.
Yang bercelana pendek mematikan rokoknya di asbak kaca berbentuk bunga dan menyapa yang lain, "Mau minum apa?" kataya sambil ketawa.

Suasana mulai cair dan seperti suara tawon mulai tak terdengar dari jarak 3 meter.

Hanya sedkit saja tertangkap ketika salah satu dari orang-orang kaya itu bertanya: "Boss tahu gak ya?"... Yang lainnya serentak saling berpandangan sejenak lalu seperti gamelan kebo giro berbarengan tertawa tergelak-gelak.
Yang bercelana pendek berkata pelan dan bijaksana:"he he he...tidak usah dibahas..." sambil menuang bir ke gelas kosong tanpa meninggalkan senyumnya.

Di TV ruangan, berita mengenai Bang Sianturi mengiringi. Orang-orang itu nyaman mendengarnya sekarang, lebih nyaman daripada beberapa minggu sebelumnya. Aman memang membuat nyaman.

Di meja kejauhan, sepasang tetes airmata turun membasahi pipi. Ia pura-pura membersihkan kaca matanya dan mencicip tehnya. Ia biasa suka manis. Tapi kali ini ia ingin ikut berbela-sungkawa merasakan pahitnya sesuatu. Maka sengaja ia tak pakai gula.

Ferry Wardiman 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar